Kamis, 15 September 2016

BIROKRASI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI

 
Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat untuk dapat dilaksanakannya pembangunan politik karena dalam kondisi ekonomi yang kacau sangat sulit dilaksanakan pembangunan politik. Untuk membangun ekonomi perlu ada pembangunan birokrasi agar mampu melaksanakan tugas-tugas dalam pembangunan ekonomi maupun politik. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan birokrat-birokrat yang berasal dari kalangan teknokrat yang cara kerjanya harus menyesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai.

 
Pembangunan birokrasi dalam konteks pembangunan ekonomi di Indonesia di tahap-tahap awal masih dihadapakan pada masalah pembinaan bangsa (nation building). Permulaan pemerintahan Orde Baru tahun 1966, muncul perhatian serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang akan menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan keterikatan internasional mempunyai keterikatan dan mempunyai signifikansi tertentu dalam memahami karakteristik kepolitikan dan birokrasi di Indonesia. Ada tiga model yang sering digunakan untuk menganalisis karakteristik birokrasi di Indonesia yaitu: birokrasi tradisional, birokrasi kolonial, dan birokrasi ideal. 
Dalam birokrasi tradisional mengutamakan terwujudnya keharmonisan hirearkis yang hakikatnya mencerminkan  pandangan kosmologisnya bahwa keberadaan manusia di dalam jagat raya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan gerak dan keselarasan alam semesta. Keteraturan di alam semesta harus dijaga. Sejumlah karakteristik yang menjadi ciri “dominasi tradisional” tetap bertahan mewarnai birokrasi kita dalam pelbagai manifestasinya. Model ini bersumber pada budaya Jawa pada kerajaan masa lampau yang berstruktur agraris feodal dan berwawasan magis-religius. Struktur tradisional ini menempatkan raja pada pusat kosmos. Raja melalui aparat birokrasinya yang bernama abdi dalem memerintah rakyatnya.
Dalam birokrasi kolonial dimana sosok birokrasi dalam model ini adalah hasil rekayasa sosial penguasa kolonial yang menempatkan wahana struktural apolitis, terisolasi dari rakyat, yang di pimpin oleh elite tradisional yang disebut dengan priyayi. Struktur tradisional yang bersumber pada birokrasi tradisional tetap di pertahankan oleh penguasa kolonial karena dinilai sangat menguntungkan untuk mengukuhkan otoritasnya terhadap rakyat pribumi. Perihal pengangkatan aparat birokrasi oleh pemerintah kolonial. Priyayi tidak di angkat berdasarkan kualifikasi geneologis tetapi berdasarkan kriteria rasional.  
Dalam birokrasi ideal yang di gambarkan oleh Max Weber bersifat legal rasional semakin mekar fungsi dan peranannya dari sekadar instrumen teknis penyelenggara roda daministrasi pemerintahan yang terikat konstitusi dan aturan hukum, objektif, netral, dan apolitik. Sebainya, birikrasi justru memperlihatkan kecendrungan perannya yang semakin luas melampaui fungsi-fungsi konvensionalnya, bahkan semakin dominan dalam mengatur berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara khususnya dalam mekanisme pengambilan keputusan-keputusan dan penyelenggaraan (politik). Dari sebuah instrumen teknis yang apolitis ia berubah menjadi mesin politik yang efektif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Sehingga birokrasi Indonesia menjadi semakin otonom. Besarnya peran birokrasi merupakan keharusan struktural terhadap pilihan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas politik yang dicanangkan semasa Pemerintahan Orde Baru.
Kecendrungan semakin besarnya keterlibatan birokrasi masih ditambah dengan ketidakseimbangan lembaga kekuasaan antara kekuatan birokrasi dengan non-bureaucratic power. Di dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Pandangan teknokrat sangat menentukan di dalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang menekankan pada stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar, dan infrastruktur. Sementara penetrasi birokrasi di dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan kultural, semakin meningkat. Birokrasi menjadi “kue politik” yang di bagi-bagi sebagai imbalan jasa. Pada saat yang lain menjadi penentu atau “boss politik” yang dapat mengatur atau mempengaruhi peri kehidupan politik dan kemasyarakatan maupun kenegaraan. Karean demikian besar kekuasaan lembaga birokrasi ini maka ia didekati oleh lembaga-lembaga lain di luar birokrasi. Lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun lembaga-lembaga politik yang semestinya lebih “dekat” dengan lembaga-lembaga perwakilan, justru mendekatkan diri kepada birokrasi karena dianggap lebih efektif sebagai penyalur aspirasi karena langsung berhadapan dengan si pembuat keputusan.
Dari berbagai tolok ukur tampak bahwa Pemerintah Orde Baru telah mampu mencapai hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan bernegara, seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas politik yang cukup mantap. Akan tetapi, untuk jangka panjang jenis struktur demikian akan menjadi hambatan serius bagi kelangsungan pembangunan karena adanya ketidaksesuaian yang melekat pada struktur ini, antara kebutuhan dominasi di satu pihak dengan tuntutan partisipasi di pihak lain.
Pemerintah Orde Baru bertekad melakukan reformasi ekonomi memerlukan suatu birokrasi yang efektif sifatnya sebagai primum mobile atau penggerak utama pembangunan. Birokrasi yang diwarisi dari rezim Orde Lama adalah birokrasi yang lemah, sangat lamban, terpolitisasi, dan korup. Pemerintah Orde Baru yang dimotori oleh kaum teknokrat tetap menganggap penting peran birokrasi, sehingga menempatkan birokrasi negara sebagai satu-satunya “agen utama modernisasi”. Pilihan terhadap birokrasi dilandasi bahwa birokrasi negara di anggap mempunyai beberapa kelebihan, baik secara politis maupun ekonomi. Birokrasi pemerintah adalah satu-satunya birokrasi yang mungkin sekali memiliki akses penguasaan atas seluruh sumber-sumber nasional. Menolak sektor bisnis swasta atau sebagai kekuatan entrepreneurial (kewiraswastaan) karena sektor ini sangat tergantung pada negara dan didominasi golongan Cina yang tidak mewakili kepentingan umum dan kurang berorientasi pada pembangunan. Kalangan politis sebagai kelompok yang dalam masalah ekonomi irasional serta kurang memiliki keahlian, pendidikan, dan pengalaman dalam pengelolaan ekonomi. Kelompok teknokrat menganggap bahwa birokrasi negara merupakan satu-satunya institusi “penggerak utama pembangunan”.
Kaum teknokrat adalah kelompok intelektual sipil nonpartai yang tidak memiliki ambisi dalam bidang politik. Keinginannya untuk hidup dalam pemerintahan guna memperkenalkan prinsip-prinsip dan pengetahuannya. Dalam posisisnya, teknokrat telah menjalankan fungsi yang vital dalam kebijaksanaan pembangunan pada era Orde Baru. Mengenai pengelolaan pembangunan, kelompok teknokrat menerapka sistem perencanaan terpusat (sentralistik), karean sangat cocok terutama dalam situasi negara sedang dalam keadaan labil dan kekurangan sumber daya. Sistem tersebut juga berfungsi sebagai “mekanisme kontrol” bagi birokrasi di semua tingkatan dan sekaligus merupakan alat untuk merapatkan antara pemerintah pusat dan daerah.
Para teknokrat yang mendominasi badan-badan pembuat keputusan ekonomi yakin sekali bahwa keberhasilan rencana pembangunan banyak tergantung pada faktor-faktor administratif. Salah satu segi pembenahan adalah dalam bidang anggaran belanja negara. Pada tingkat nasional, Menteri Keuangan dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl) bertindak sebagai The Guardian of Public Treasury (penjaga kekayaan negara), sedangkan departemen-departemen dan badan-badan lainnya sebagai The Spending Advocates (pembelanja).
Fenomena patrimonial dalam birokrasi Indonesia merupakan suatu hal yang inhernt dalam bangunan besar sistem politik di Indonesia. Birokrasi yang muncul dan berkembang sekarang ini mempunyai ciri khas mewarisi sistem nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau yang bercampur dengan birokrasi gaya kolonial serta ide-ide modern teknokratis. Dalam semboyannya, pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah ungkapan yang masih mengandung pengertian orientasi keatas. Kecendrungan orientasi keatas telah menyebabkan terjadinya sentralisasi pada pusat-pusat birokrasi, menimbulkan praktik-praktik patrimonialisme pada birokrasi disegala jenjangnya. Ada, anggapan bahwa karir dan nasib seseorang banyak tergantung pada kemurahan patron atasnya.
Dominannya posisi birokrasi sekarang ternyata banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dinamika politik-ekonomi Orde Baru. Artinya, bahwa menguatnya peran birokrasi adalah merupakan konsekuensi logis dari kondisi objektif Orde Baru untuk menciptakan stabilitas politik demi kelangsungan pembangunan ekonomi yang menitikbratkan pada pertumbuhan. Birokrasi berkembang menjadi “gurita politik” yang sulit diimbangi oleh kekuatan-kekuatan politik lainnya diluar birokrasi. Hadirnya kaum teknokrat – pendukung utama Orde Baru semakin menetapkan dominasi birokrasi. Di bawah otoritas mereka, model pembangunan “teknokratik-birokratik” diterapkan. Dalam model ini, birokrasi ditempatkan sebagai primum mobile, penggerak utama modernisasi. Yang mempunyai karakteristik, yaitu sentralisasi dan konsentrasi ditangan birokrasi. Implikasi dari dominasi birokrasi adalah semakin lemahnya kekuatan di luar birokrasi. Partisipasi masyarakat mengalami krisis sehingga partisipasi politik lebih mengesankan proses mobilisasi massa daripada semangat demokratisasi.
Kehadiran birokrasi ditengah-tenga masyarakat politik merupakan conditio sine qua non (kondisi yang harus diterima). Yang menjadi persoalan adalah terlalu dominannya peran birokrasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara. Sehingga birokrasi menjadi tidak fungsional untuk melayani kepentingan masyarakat. Birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi merupakan “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan. Jelas birokrasi tidak mungkin “netral” dari pengaruh pemerintah. Tetapi, tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian. Kemandirian birokrasi adalah birokrasi dapat bertindak berpihak pada kepentingan masyarakat dan melayani masyarakat. Dalam ketidaknetralannya, birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan masyarakat keseluruhan.
Model ideal bangun birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan adalah birokrasi haruslah apolitis, bahwa tugasnya melayani masyarakat secara kesluruhan harus dibebaskan dari pengaruh interes tertentu dari pemerintah selaku pemberi tugas. Untuk mencegah tumbuhnya neo-tradisionalisme birokrasi, hal yang penting yang perlu dilakukan adalah suatu transformasi nilai birokrasi modern yang organis-adaptif yaitu, birokrasi yang terbuka terhadap gagasan-gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-perubahan, dan gagasan peningkatan produktivitas dan pelayanan. Pada masa ini ada rasionalitas tanpa akal budi. Proses dehumanisasi ini jelas tidak sesuai dengan ide-ide pengembangan kualitas sumber daya manusia dan demokratisasi. Perlu diciptakan model birokrasi humanistis, yaitu birokrasi yang menempatkan manusia pada proporsinya.
Dapat dismpulkan bahwa model birokrasi yang diinginkan untuk menjawab tantangan sekarang dan yang akan datang haruslah mempunyai karakteristik yang organis-adaptif, humanis, apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan (delivey of public service), dan mempunyai sifat-sifat seperti disifatkan dalam model Hegelian bureaucracy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar