Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat untuk dapat
dilaksanakannya pembangunan politik karena dalam kondisi ekonomi yang kacau
sangat sulit dilaksanakan pembangunan politik. Untuk membangun ekonomi perlu
ada pembangunan birokrasi agar mampu melaksanakan tugas-tugas dalam pembangunan
ekonomi maupun politik. Dalam pembangunan ekonomi diperlukan birokrat-birokrat
yang berasal dari kalangan teknokrat yang cara kerjanya harus menyesuaikan
dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pembangunan birokrasi dalam konteks pembangunan
ekonomi di Indonesia di tahap-tahap awal masih dihadapakan pada masalah
pembinaan bangsa (nation building). Permulaan pemerintahan Orde Baru tahun
1966, muncul perhatian serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang
akan menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan dan keterikatan internasional mempunyai
keterikatan dan mempunyai signifikansi tertentu dalam memahami karakteristik
kepolitikan dan birokrasi di Indonesia. Ada tiga model yang sering digunakan
untuk menganalisis karakteristik birokrasi di Indonesia yaitu: birokrasi
tradisional, birokrasi kolonial, dan birokrasi ideal.
Dalam birokrasi tradisional mengutamakan terwujudnya
keharmonisan hirearkis yang hakikatnya mencerminkan pandangan kosmologisnya bahwa keberadaan
manusia di dalam jagat raya merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan gerak
dan keselarasan alam semesta. Keteraturan di alam semesta harus dijaga.
Sejumlah karakteristik yang menjadi ciri “dominasi tradisional” tetap bertahan
mewarnai birokrasi kita dalam pelbagai manifestasinya. Model ini bersumber pada
budaya Jawa pada kerajaan masa lampau yang berstruktur agraris feodal dan
berwawasan magis-religius. Struktur tradisional ini menempatkan raja pada pusat
kosmos. Raja melalui aparat birokrasinya yang bernama abdi dalem memerintah rakyatnya.
Dalam birokrasi kolonial dimana sosok birokrasi dalam
model ini adalah hasil rekayasa sosial penguasa kolonial yang menempatkan
wahana struktural apolitis, terisolasi dari rakyat, yang di pimpin oleh elite
tradisional yang disebut dengan priyayi. Struktur tradisional yang bersumber
pada birokrasi tradisional tetap di pertahankan oleh penguasa kolonial karena
dinilai sangat menguntungkan untuk mengukuhkan otoritasnya terhadap rakyat
pribumi. Perihal pengangkatan aparat birokrasi oleh pemerintah kolonial.
Priyayi tidak di angkat berdasarkan kualifikasi geneologis tetapi berdasarkan
kriteria rasional.
Dalam birokrasi ideal yang di gambarkan oleh Max Weber
bersifat legal rasional semakin mekar fungsi dan peranannya dari sekadar
instrumen teknis penyelenggara roda daministrasi pemerintahan yang terikat
konstitusi dan aturan hukum, objektif, netral, dan apolitik. Sebainya,
birikrasi justru memperlihatkan kecendrungan perannya yang semakin luas
melampaui fungsi-fungsi konvensionalnya, bahkan semakin dominan dalam mengatur
berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara khususnya dalam mekanisme
pengambilan keputusan-keputusan dan penyelenggaraan (politik). Dari sebuah
instrumen teknis yang apolitis ia berubah menjadi mesin politik yang efektif
dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Sehingga birokrasi Indonesia
menjadi semakin otonom. Besarnya peran birokrasi merupakan keharusan struktural
terhadap pilihan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas
politik yang dicanangkan semasa Pemerintahan Orde Baru.
Kecendrungan semakin besarnya keterlibatan birokrasi
masih ditambah dengan ketidakseimbangan lembaga kekuasaan antara kekuatan
birokrasi dengan non-bureaucratic power.
Di dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan
kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Pandangan
teknokrat sangat menentukan di dalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang
menekankan pada stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar, dan
infrastruktur. Sementara penetrasi birokrasi di dalam kehidupan ekonomi,
sosial, politik, dan kultural, semakin meningkat. Birokrasi menjadi “kue
politik” yang di bagi-bagi sebagai imbalan jasa. Pada saat yang lain menjadi
penentu atau “boss politik” yang dapat mengatur atau mempengaruhi peri
kehidupan politik dan kemasyarakatan maupun kenegaraan. Karean demikian besar
kekuasaan lembaga birokrasi ini maka ia didekati oleh lembaga-lembaga lain di
luar birokrasi. Lembaga-lembaga kemasyarakatan maupun lembaga-lembaga politik
yang semestinya lebih “dekat” dengan lembaga-lembaga perwakilan, justru
mendekatkan diri kepada birokrasi karena dianggap lebih efektif sebagai
penyalur aspirasi karena langsung berhadapan dengan si pembuat keputusan.
Dari berbagai tolok ukur tampak bahwa Pemerintah Orde
Baru telah mampu mencapai hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan
bernegara, seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas politik
yang cukup mantap. Akan tetapi, untuk jangka panjang jenis struktur demikian
akan menjadi hambatan serius bagi kelangsungan pembangunan karena adanya
ketidaksesuaian yang melekat pada struktur ini, antara kebutuhan dominasi di
satu pihak dengan tuntutan partisipasi di pihak lain.
Pemerintah Orde Baru bertekad melakukan reformasi
ekonomi memerlukan suatu birokrasi yang efektif sifatnya sebagai primum mobile atau penggerak utama
pembangunan. Birokrasi yang diwarisi dari rezim Orde Lama adalah birokrasi yang
lemah, sangat lamban, terpolitisasi, dan korup. Pemerintah Orde Baru yang
dimotori oleh kaum teknokrat tetap menganggap penting peran birokrasi, sehingga
menempatkan birokrasi negara sebagai satu-satunya “agen utama modernisasi”.
Pilihan terhadap birokrasi dilandasi bahwa birokrasi negara di anggap mempunyai
beberapa kelebihan, baik secara politis maupun ekonomi. Birokrasi pemerintah
adalah satu-satunya birokrasi yang mungkin sekali memiliki akses penguasaan
atas seluruh sumber-sumber nasional. Menolak sektor bisnis swasta atau sebagai
kekuatan entrepreneurial
(kewiraswastaan) karena sektor ini sangat tergantung pada negara dan didominasi
golongan Cina yang tidak mewakili kepentingan umum dan kurang berorientasi pada
pembangunan. Kalangan politis sebagai kelompok yang dalam masalah ekonomi
irasional serta kurang memiliki keahlian, pendidikan, dan pengalaman dalam
pengelolaan ekonomi. Kelompok teknokrat menganggap bahwa birokrasi negara
merupakan satu-satunya institusi “penggerak utama pembangunan”.
Kaum teknokrat adalah kelompok intelektual sipil
nonpartai yang tidak memiliki ambisi dalam bidang politik. Keinginannya untuk
hidup dalam pemerintahan guna memperkenalkan prinsip-prinsip dan
pengetahuannya. Dalam posisisnya, teknokrat telah menjalankan fungsi yang vital
dalam kebijaksanaan pembangunan pada era Orde Baru. Mengenai pengelolaan
pembangunan, kelompok teknokrat menerapka sistem perencanaan terpusat
(sentralistik), karean sangat cocok terutama dalam situasi negara sedang dalam
keadaan labil dan kekurangan sumber daya. Sistem tersebut juga berfungsi
sebagai “mekanisme kontrol” bagi birokrasi di semua tingkatan dan sekaligus
merupakan alat untuk merapatkan antara pemerintah pusat dan daerah.
Para teknokrat yang mendominasi badan-badan pembuat
keputusan ekonomi yakin sekali bahwa keberhasilan rencana pembangunan banyak
tergantung pada faktor-faktor administratif. Salah satu segi pembenahan adalah
dalam bidang anggaran belanja negara. Pada tingkat nasional, Menteri Keuangan
dan Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasioanl) bertindak sebagai The Guardian of Public Treasury (penjaga
kekayaan negara), sedangkan departemen-departemen dan badan-badan lainnya
sebagai The Spending Advocates
(pembelanja).
Fenomena patrimonial dalam birokrasi Indonesia
merupakan suatu hal yang inhernt dalam
bangunan besar sistem politik di Indonesia. Birokrasi yang muncul dan
berkembang sekarang ini mempunyai ciri khas mewarisi sistem nilai tradisional
yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau yang bercampur dengan
birokrasi gaya kolonial serta ide-ide modern teknokratis. Dalam semboyannya,
pegawai negeri adalah abdi negara, sebuah ungkapan yang masih mengandung
pengertian orientasi keatas. Kecendrungan orientasi keatas telah menyebabkan
terjadinya sentralisasi pada pusat-pusat birokrasi, menimbulkan praktik-praktik
patrimonialisme pada birokrasi disegala jenjangnya. Ada, anggapan bahwa karir
dan nasib seseorang banyak tergantung pada kemurahan patron atasnya.
Dominannya posisi birokrasi sekarang ternyata banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor dinamika politik-ekonomi Orde Baru. Artinya,
bahwa menguatnya peran birokrasi adalah merupakan konsekuensi logis dari
kondisi objektif Orde Baru untuk menciptakan stabilitas politik demi
kelangsungan pembangunan ekonomi yang menitikbratkan pada pertumbuhan.
Birokrasi berkembang menjadi “gurita politik” yang sulit diimbangi oleh
kekuatan-kekuatan politik lainnya diluar birokrasi. Hadirnya kaum teknokrat –
pendukung utama Orde Baru semakin menetapkan dominasi birokrasi. Di bawah
otoritas mereka, model pembangunan “teknokratik-birokratik” diterapkan. Dalam
model ini, birokrasi ditempatkan sebagai primum
mobile, penggerak utama modernisasi. Yang mempunyai karakteristik, yaitu
sentralisasi dan konsentrasi ditangan birokrasi. Implikasi dari dominasi
birokrasi adalah semakin lemahnya kekuatan di luar birokrasi. Partisipasi
masyarakat mengalami krisis sehingga partisipasi politik lebih mengesankan
proses mobilisasi massa daripada semangat demokratisasi.
Kehadiran birokrasi ditengah-tenga masyarakat politik
merupakan conditio sine qua non
(kondisi yang harus diterima). Yang menjadi persoalan adalah terlalu dominannya
peran birokrasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara. Sehingga
birokrasi menjadi tidak fungsional untuk melayani kepentingan masyarakat.
Birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang menghubungkan pemerintah
dengan rakyatnya. Birokrasi merupakan “alat pemerintah” yang bekerja untuk kepentingan
rakyat secara keseluruhan. Jelas birokrasi tidak mungkin “netral” dari pengaruh
pemerintah. Tetapi, tidak berarti bahwa birokrasi tidak memiliki kemandirian.
Kemandirian birokrasi adalah birokrasi dapat bertindak berpihak pada
kepentingan masyarakat dan melayani masyarakat. Dalam ketidaknetralannya,
birokrasi tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan
masyarakat keseluruhan.
Model ideal bangun birokrasi dalam konteks hubungan
kekuasaan adalah birokrasi haruslah apolitis, bahwa tugasnya melayani
masyarakat secara kesluruhan harus dibebaskan dari pengaruh interes tertentu
dari pemerintah selaku pemberi tugas. Untuk mencegah tumbuhnya
neo-tradisionalisme birokrasi, hal yang penting yang perlu dilakukan adalah
suatu transformasi nilai birokrasi modern yang organis-adaptif yaitu, birokrasi
yang terbuka terhadap gagasan-gagasan inovatif, peka terhadap
perubahan-perubahan, dan gagasan peningkatan produktivitas dan pelayanan. Pada
masa ini ada rasionalitas tanpa akal budi. Proses dehumanisasi ini jelas tidak
sesuai dengan ide-ide pengembangan kualitas sumber daya manusia dan
demokratisasi. Perlu diciptakan model birokrasi humanistis, yaitu birokrasi
yang menempatkan manusia pada proporsinya.
Dapat
dismpulkan bahwa model birokrasi yang diinginkan untuk menjawab tantangan
sekarang dan yang akan datang haruslah mempunyai karakteristik yang
organis-adaptif, humanis, apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan (delivey of public service), dan
mempunyai sifat-sifat seperti disifatkan dalam model Hegelian bureaucracy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar